-->

Ditampar Alloh

Roby memang seorang yang temperamental, pemarah, sering jengkel, bicaranya terkadang menimbulkan salah tangkap lawan bicaranya walaupun Roby tidak bermaksud marah dan ini ia sadari sejak lama. Kadang pula istri dan anaknya jadi korban pelampiasan kemarahannya.  Ibunya pun heran sejak kapan si Roby ini memiliki sifat dan karakter seperti ini padahal dahulu Roby adalah putra kesayangan ayah dan ibunya walaupun dia bukanlah anak bungsu bahkan anak paling besar dari lima saudara alias anak “barep”. Sejak SMA Roby adalah anak kebanggaan keluarganya karena selalu menjadi bintang kelas di salah satu sekolah “setengah” favorit di kotanya Bandung (setengah favorit???). Roby tidak pernah tinggalkan sholat berjamaah ke mesjid kecuali kepepet…heheheh, mengaji adalah aktifitas utamanya. Dan iya adalah seorang insinyur lulusan Fakultas Teknik Sipil dari Perguruan Tinggi ternama di kota Solo. Sekarang dia senantiasa disapa dengan sapaan kehormatan masyarakat sekitar tempat tinggalnya dan di tempat dia bekerja. “Ustadz” itulah panggilan yang selalu tersemat di pundaknya walaupun dia tidak begitu suka dengan panggilan itu karena dia tahu panggilan tersebut terlalu mulia baginya sementara ilmu dan karakternya tidaklah menunjukkan seorang ustadz. Tapi Roby tak bisa mengelak karena didukung oleh tampang ustadz yang dimilikinya jenggot dan jidat hitam.

Ahad siang itu memang hari yang penuh amarah dan kejengkelan bagi Roby, apa pasal? Kedua anaknya membuatnya jengkel karena mereka membuat kakacauan dihalaman rumah yang baru saja dia bersihkan. “ plak “  sebuah tamparan mendarat di pantat kedua anaknya yang terbilang masih kecil itu, pecahlah tangisan keduanya dan berlari  memeluk ibunya. Istri Roby yang tentunya ibu kedua anaknya hanya diam, karena kejadian ini bukan satu dua kali terjadi alias beberapa kali dan bicara bukan menyelesaikan masalah untuk meredam amarah Roby. 

Adzan ashar berkumandang. Sebagaimana biasa Roby memenuhi panggilan sholat ashar berjamaah di mesjid yang tidak seberapa jauh dari rumahnya. Selepas Sholat dan dzikir Roby terdiam menyesali apa yang telah diperbuatnya. “Mengapa harus marah bukankah aku sudah mendeklarasikan diri untuk mengendalikan amarah dan kejengkelan, bukankah aku tahu dalil-dalil kejelekan marah dan keutamaan mengendalikannya, bukankah kamu dengan lantang menyampaikan Khutbah diatas mimbar Ied tahun lalu bahwa menahan marah adalah salah satu ciri orang bertaqwa yang dijanjikan surga yang luasnya  seluas langit dan bumi.. Yaa Alloh…” Roby berkata kepada dirinya sendiri. 

************
Tamparan dari Alloh

Senin, selepas sholat subuh Roby bersiap berangkat ke Jakarta untuk bekerja sebagaimana telah berjalan dua bulan terakhir ini. Senang bercampur susah menyertai kepergiannya subuh itu. Senang karena akan terhindar dari penyebab kejengkelan dan susah karena harus berpisah sementara dengan anak-anak dan istri....loh bingung kali si Roby, memang itulah perasaannya subuh itu campur aduk. Sepanjang perjalanan Roby berusaha menghibur diri dengan mendengarkan rekaman siaran ceramah berbahasa sunda dari Ki Balap seorang Kiayi nyentrik asal Bogor. Ceramah yang menceritakan tentang shohibul Hikayat Ki Ahmad itu cukup menghiburnya sepanjang perjalanan Bandung-Jakarta. Rekaman jadul sekitar tahun enam puluhan ini Roby simpan di dalam ponselnya yang sempat dia banting beberapa hari sebelumnya, tanya kenapa? “MARAH”. 

Panas terik matahari Jakarta tidak menjadikan Roby untuk bermalas-malas melaksanakan aktifitasnya senin siang itu hingga langit barat memerah tanda maghrib. Dengan kopiah krem tua milik almarhum mertuanya, sarung hijau dan koko krem pemberian bosnya tidak lupa parfum “aqua digioman” pilihan sang istri menghiasi langkah Roby ke mesjid jami al-mukhlisin dekat kantor tempat dia bekerja. 

Diantara jamaah mesjid al-mukhlisin ada seorang tua renta yang selalu berada si barisan terdepan dalam shof sholat. Diatas kursinya pak Yono begitu beliau biasa disapa tidak bosan melantunkan sholawat sambil menunggu dikumandangkannya iqomah tanda sholat mulai ditegakkan. Menurut pengakuannya pak Yono berusia sekitar 100 tahun, diusia yang bisa dikatakan uzur itu pak Yono dengan tongkat yang setia menemaninya tetap bersemangat memenuhi panggilan Azan dan berjamaah di mesjid walaupun beliau senantiasa meminta bantuan beberapa orang untuk memboncengnya ke mesjid dan menuntunnya manaiki titian tangga mesjid al-Mukhlisin yang dibangun tiga lantai itu. 

Selepas Sholat maghrib, entah kenapa Roby menyengaja menunggu pak Yono di bibir tangga mesjid. Dia berharap pak Yono memanggilnya untuk diminta bantuan menuntunnya menuruni tangga. Benar juga, pak Yono memanggilnya meminta bantuan. Senyum Roby tersungging menyambut pak Yono. Dituntunnya pak Yono yang masih kuat ingatannya di seusianya namun Pak Yono harus menggunakan alat bantu dengar di telinganya. 
Hal yang biasa dilakukan pak Yono kepada orang yang membantu menuntunnya adalah bercerita tentang dirinya, memberi semangat untuk selalu membantu orang yang membutuhkan bantuan dan tentunya berkenalan. Hal yang selalu Pak Yono katakan dan bisa dikatakan materi reguler adalah sesiapa yang membantu orang tua sepertinya maka dia akan dibantu orang lain tatkala usianya uzur pula beliau ibaratkan seperti seseorang yang menanam padi maka dia akan mendapatkan padi juga, sederhana memang tapi dalam. 

Seperti biasa pak Yono bertanya nama kepada Roby.
“ adik namanya siapa?” tanyanya.
“ Roby Kek” jawab Roby sambil menuntun perlahan Pak Yono menuruni tangga.
“ siapa?? Ruhi??” Tanya pak Yono lagi karena kurang jelas.
“Roby kek R…O… B… Y…Rooo..by” jawab  Roby agak meninggikan volume suaranya.
“ oooo….Roby” pak Yono menyambut.
“ Iya kek…” Roby mengiyakan sambil tersenyum.
“pesan saya buat dik roby.. yaa… kurangi marahnya …kurangi dongkolnya…terutama sama keluarga….ya!!!”kata pak Yono.
“ bagaimana kek??” Roby mendadak budek tidak percaya dengan apa yang dikatakan Pak Yono pada dirinya.
“ iyaa…. Kurangi marahnyaaaa… kurangi dongkolnya…terutama kepada keluarga…” tegas Pak Yono.

Serasa ditampar gledek di malam hari  Roby berusaha menahan air matanya, sementara tangannya masih mengenggam tangan pak Yono ingatannya menerawang kepada apa yang telah dilakukan sebelumnya kepada ibu, istri dan kedua anaknya. Tidak ada lagi pembicaraan setelah itu dengan pak Yono. Roby hanya diam membisu, menyesali perbuatan yang telah dilakukannya selama ini. Ini teguran dari Alloh SWT melalui orang yang tidak disangkanya, orang yang tidak mengenalnya sama sekali kecuali semaghrib itu saja. Tidak pikir panjang Istri dan anaknya di hubunginya, Roby meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya, anaknya hanya mengatakan iya…iya….iya.
Roby berharap kejadian ini menjadi titik awal perubahan yang memang tidak mudah.
“Terima kasih Alloh Kau sudah tampar hamba, bantu aku yaa Alloh, terima kasih pak Yono” bisiknya.